Kamis, 21 April 2011

Terkait Kasus Bandar Udara Namniwel dan Sejumlah Proyek di Buru
KPK Diminta Turun Periksa Sejumlah Pejabat Daerah yang Nakal
r. Difinubun; Bupati dan Wakil Bupati Buru Harus Bertanggungjawab
Namlea,- Potret korupsi di daerah pascapelaksanaan otonomi daerah semakin mengerikan. Penangkapan 19 bupati/wali kota dan 5 gubernur karena kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang 2004-2009, kemudian diikuti dengan penangkapan sejumlah kepala daerah lainnya di indonesia 2009-2010 sampai sekarang sejauh ini juga belum memberikan efek jera.
Koordinator Daerah (Korda) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Buru M. Hatta Difinubun kepada Wartawan di Namlea Sabtu kemarin mengatakan, terkait kasus pembangunan bandar udara namniwel yang menelan dana miliaran rupiah dan sejumlah proyek-proyek yang bermasalah di kabupaten buru masih banyak yang belum tersentuh hukum, olehnya dirinya meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segerah turun tangan menuntaskan persoalan dimaksud, "untuk kasus-kasus besar seperti bandar udara namniwel yang nilainya miliaran rupiah, kasus BLK, kasus Rumah KAT, Kasus Gerhan dan sejumlah kasus besar lainya yang tidak dapat diungkit satu per satu itu tidak bisa mengharapkan kepolisian dan kejaksaan sendiri di daerah untuk menuntaskannya, karena aparat-aparat penegak hukum di daerah kebanyakan banyak yang sudah tidak netral, contohnya saja bandar udara namniwel, seharusnya yang bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan pembangunan di daerah adalah bupati dan wakil bupati, ini malah anakbuahnya yang dipenjarakan, kan lucu, sementara anak buah bekereja inikan atas perintah sang pemimpin, belum lagi kasus BLK yang sudah satu tahun lebih mengendap di meja kepolisian dengan alasan dari polisi adalah masih menunggu hasil audit BPK, kemudian Kasus rumah KAT yang kelihatan aparat kejaksaan akhir-akhir ini sudah mulai lupa-lupa ingatan untuk mau dimejahijaukan, belum lagi beberapa kasus besar lainnya yang pada prinsipnya sudah di ketahui oleh aparat penegak hukum namun kalau belum di muat di media sudah pasti akan didiamkan sebagai lahan mata pencahrian mereka".
Difinubun mengatakan, dari sejumlah kasus ini dampaknya menghambat pembangunan di Buru, padahal para pejabat daerah sebelum mereka mengusungkan diri mereka sebagai pimpinan daerah mereka beberapa tahun silam mereka menyuarakan sejumlah pembangunan di buru akan di prioritaskan demi kesejahteraan dan kelancara perekonomian bagi masyarakat buru, namun yang terjadi sejumlah pembangunan yang berjalan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kelompok, sementara masyarakat dari mulainya kabupaten buru dimekarkan hingga sekarang fasilitas transportasi darat dan lautpun belum terbangun sampai sekarang, kondisi inilah yang menjadi korupsi kecil-kecilan di buru, “olehnya saya meminta untuk KPK turun ke kabupaten buru dan periksa sejumlah pejabat-pejabat di buru yang nakal yang salah menggunakan uang negara”.
Diuraikannya, celah untuk melakukan korupsi di daerah memang lebar dan cenderung meningkat. Padahal, sepanjang tahun 2004-2009 KPK sudah menuntut 19 bupati/wali kota dari Sabang hingga Merauke karena kasus korupsi. Data itu belum termasuk para wakil pimpinan daerah dan pejabat eselon di bawahnya.

Beberapa modus yang biasa dipakai dalam korupsi di daerah, menurut Difinubun, adalah penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta dana alokasi umum, penggelembungan dana dalam pengadaan barang dan jasa, pembuatan proyek-proyek fiktif, alih status prasarana sosial dan areal hutan, hingga penerimaan gratifikasi serta upah pungut.
Saya mengutip sebuah ceramah dari Profesor Tjipta Lesmana salah satu Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, saat memberikan ceramah di depan sejumlah pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, di Balai Kota Ambon, pada Senin (18/4) lalu.
Lesmana mengatakan, sesuai dengan data dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) ditemukan sekitar 70 persen gubernur/bupati dan walikota di Indonesia terlibat korupsi, "Temukan KPK ada sekitar 70 persen itu bupati/walikota/gubernur korupsi, data KPK sudah 16 gubernur di Indonesia yang kemudian dipenjara, bayangkan saja kalau ada cerita," katanya.
Di tengah-tengah kondisi yang demikian, menurut Lesmana, maka sulit sekali memilih pemimpin, karena demokrasi Indonesia saat ini sementara sakit dan sesungguh rakyat Indonesia belum siap melaksanakan demokrasi, "Pilkada di mana-mana selalu ribut, bahkan bangsa ini masih compang-camping, pendidikannya masih rendah, Pilkada masih penuh penekanan, main duit, demokrasi macam apa ini," ungkapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar